Monday, August 14, 2006

Math, Computing My Life

"Apa?! Ujian matematikanya hari senin? Kenapa mesti hari pertama?" Ya, itulah keluhan yang paling sering keluar dari mulutku begitu tau ujian matematika digelar di hari pertama minggu ujian semasa sekolah. Matematika bagiku adalah momok menyeramkan sekaligus menyebalkan. Otakku terlalu lambat (bodoh) untuk pelajaran matematika dan ujiannya adalah hari "kiamat kecil".

Sebenarnya udah salah dasar (pondasi matematis) sejak kecil. Tahun pertama di SD aku tidak punya masalah dengan matematika (MM), tapi begitu masuk tahun kedua aku mulai "bosan". Matematika terlalu gampang dan aku memberontak kepada guruku, "Buk (Bu maksudnya), itungannya koq gitu-gitu aja?! Bosan..." Begitulah, saat masuk kelas tiga aku sudah banyak ketinggalan, dengan kata lain menjadi bodoh, bahkan kalo disuruh menghapal perkalian seusai sekolahan oleh ortu, aku lebih memilih pura-pura tidur siang atau kabur ke rumah tetangga untuk main atau nonton kartun. Aku benci sekali matematika.

Selama bertahun-tahun aku cuek dengan matematika dan kuanggap angin lalu saja. Kupikir, tidak butuh matematika untuk bertahan hidup. Tapi tidak kalau ujian matematika. Aku harus belajar mati-matian hanya untuk mendapatkan nilai minimal enam. Betul, bukan kiasan. Aku harus memperhatikan contoh soal, atau memaksa temanku yang kebetulan pintar untuk mengajariku secara instan. Pernah juga main curang waktu SMP alias ngopek pas ujian. Terpaksa sekali karna gurunya mewanti-wanti membuat siswa yang nilai enam akan dibuat tinggal kelas. Jadi harus "kerja ekstra dan hati-hati" supaya perbuatan curangnya nggak ketahuan. Dan kalau ada PR matematika, aku lebih memilih menyontek PR kawan dengan sedikit modifikasi supaya nggak begitu kentara contekannya. Itupun mencontek kalo sudah pasrah dan nggak tau penyelesaian dari soal2. Dan kalo misalnya PR yang kebetulan aku buat sendiri mendapat nilai bagus, waduh senang sekali. Mirip Nobita mukanya...

Satu-satunya pelajaran yang selalu "menyelamatkanku" dari jebakan akademis adalah Bahasa Inggris. Kebetulan aku dileskan sejak kelas enam SD dan memang bagiku nggak susah mempelajarinya, dan disini (Lubuk Pakam yang kecil) kemampuan berbahasa Inggris yang baik adalah sebuah kemewahan dan kemampuan yang tidak banyak ditemukan (berbeda dengan keadaan di kota besar, anak TK sudah dapat materi Inggris dan kemampuannya lancar sekali plus bahasa Inggris adalah sesuatu hal yang sangat biasa). Di ijazah SMP dan SMA, nilai bahasa Inggrisku selalu tinggi dan menutupi nilai matematikaku yang jelek. Bisa dibilang, nilai rata-rata di ijazahku lumayan tinggi karena bahasa Inggris (dan beberapa pelajaran lain).

Hingga kini aku masih terkagum-kagum dan takjub dengan teman-temanku dan semua orang yang jago/pintar/menguasai matematika ataupun kuliah di bidang matematika (ada dua blogger yang kukenal merupakan lulusan matematika, Kak Sherly dan Bang Gandhi). Takjubnya kepada semua yang pintar MM begini, mulutku kadang melongo dan tampang melempem begitu tau mereka menguasainya, pokoknya kagum dan susah dijelaskan dengan kata-kata... Kadang aku minder kalo bergabung dengan kumpulan orang-orang eksakta padahal teman2 dekatku kebanyakan anak eksakta yang notabene jago MM, terutama pas SMA dulu. Ada rivalitas tersembunyi diantara anak2 jurusan eksakta (IPA) dan sosial (IPS). Ada orang-orang tertentu di IPA yang sombong dengan kepintarannya (gak semua loh, banyak yang baek koq), sedangkan anak2 IPS menjadi minder dan mencari pembelaan diri atas stereotip umum bahwa anak2 IPS itu bodoh.

And now, aku merasakan betul manfaat matematika dan mematahkan anggapanku dulu kalo tidak butuh matematika untuk bertahan hidup. Tanpa matematika aku akan kesusahan dalam menjalani hidup dan tidak bisa berpikir taktis lagi praktis dalam menentukan keputusan. Dan sejak tiga tahun kuliah ini aku mulai belajar matematika lagi dari dasar karna kuliahanku menyangkut bidang eksakta. Aku butuh matematika walau bukan hal yang mudah untuk belajar menyukai dan mengerti suatu hal yang menjadi "monster" dalam hidupku selama bertahun-tahun. Aku butuh matematika supaya aku tidak selalu mempertimbangkan terlalu banyak hal dalam membuat keputusan. Keputusanku selama ini melibatkan banyak hal supaya membuat keputusan yang membuat semua pihak merasa menang (win-win decision), tanpa menyakiti salah satu pihak. Bukannya metodeku ini salah tapi terkadang kita perlu keputusan taktis (yang bisa diperoleh dengan MM), dan aku juga nggak mau selalu disebut "si pembuat resolusi perdamaian" atau "politikus nurani" oleh lingkunganku tapi kerjanya dalam membuat keputusan sedikit lamban. Nggak bisa kutampik kalo aku memang orang sosial (jurusanku dulu memang IPS) walau kuliahanku sekarang materinya IPA/eksakta (tapi nanti aku berniat ngambil S2 di bidang sosial-politik). Penerapan matematika sederhana juga kuperlukan dalam membangun desain-desain blog walaupun aku nggak menguasai algoritma ataupun bahasa pemrograman lain untuk membuat search engine. Tapi yang jelas, kita -kamu dan aku- butuh matematika (bahkan di sorgapun butuh matematika sebagai cara untuk menghitung dan memproses banyak hal, sehingga ada tertulis frasa "dosa yang menggunung" atau "barisan malaikat berlaksa-laksa", menulis seperti itu kan butuh perhitungan atau matematika). Math helps us to compute this life.

No comments: